12 Desau Angin: Losing A Whole Year Part.8

December 19, 2010 § 1 Comment


by Rendra Jakadilaga @therendra

Nama saya Rumput. Tidak tahu apa yang ada di benak orang tua saya sewaktu memilih nama itu. Mungkin karena rumput itu adalah pemandangan langka di kota besar macam Jakarta ini. Sedangkan di Irlandia Utara sana, dimana saya lahir, dimana rumput adalah kemanapun mata memandang, rumput itu ibarat surga dunia buat papa dan mama yang adalah orang Indonesia. Mengharapkan saya bisa jadi surga buat mereka, jadilah nama saya Rumput.

Tepat di umur 5 tahun kami sekeluarga kembali ke Jakarta. Saya sudah punya adik, Lunar, yang waktu itu usianya baru 1 tahun. Benar seperti prediksi orang tua saya, sayapun tumbuh sebagai surga buat orang-orang di sekitar saya. Beruntung saya diberikan orang tua dengan kecukupan materi, jadi saya bisa bersekolah di sekolah favorit. Bukan di sekolah ala kadarnya dengan atap bolong-bolong dan jendela yang setengah berkaca setengah tidak. Hampir keseluruhan hidup saya serba indah. Meski layaknya semua yang ada dunia kehidupan saya pun ada cacat sana sini, tetapi secara keseleruhan bisa dibilang persis dongeng tentang surga.

Sampai pada hari itu. Hari dimana saya ketemu sosok bernama Angin. Ramah, mudah bergaul, apa adanya kalau bicara, itulah Angin. Seperti namanya, lelaki berbadan cukup atletis ini selalu memberi kesegaran. Bosan dengan keadaan hidup yang serba teratur – atau bahkan diatur – saya menemukan sosok kebebasan dalam diri Angin. Bosan dengan segala kemudahan yang ada di rumah, saya belajar mengerti arti kata ‘berusaha’ dengan Angin. Semakin jauh mengenal Angin, semakin saya tertantang untuk mengenalnya lebih jauh. Segala perbedaan antara saya dan Angin bukannya menjauhkan malah menguatkan hubungan kami berdua. Saya yang selalu tertata rapi kagum dengan keleluasaan Angin dalam bertindak. Saya yang terlatih dengan keteraturan seakan menemukan kebebasan dalam tiap keteledoran Angin.

Saya yang datang dari keluarga dengan berjuta rencana iri dengan kesiapan Angin menghadari setiap hari barunya. Sifat-sifat Angin yang sangat berlawanan dengan apa yang sudah ditanamkan dalam benak saya semakin mengakrabkan kami. Akrab berganti kagum, dan kagum berkembang menjadi cinta dan sayang. Kami saling melengkapi. Saya merasa lengkap bersama Angin. Saya inginkan kehidupan seperti Angin. Saya inginkan kehidupan DENGAN Angin.

Tidak terlalu sulit harusnya menggapai semua mimpi saya itu, karena entah bagaimana datangnya mujizat itu, Angin pun menaruh rasa pada saya. Kata-kata cinta dan sayang dikatakan tidak hanya dengan mulutnya, tapi juga dengan mata dan hatinya. Ah, sungguh merupakan surga buat saya memiliki Angin dalam hidup saya.

Memang, tidaklah sulit. Andai saja, papa bukannya orang yang anti orang miskin. Papa sangat menentang hubungan saya dan Angin. Menurut papa, kehidupan Angin tidak jelas. Saya akan tertiup ke arah yang tidak bisa diprediksi. Perselisihan demi perselisihan, perdebatan demi perdebatan, kemarahan demi kemarahan, semakin memperuncing keadaan. Saya dan papa tidak lagi bisa berkompromi. Saya yang memang pada dasarnya seringkali mengalah pada keegoisan papa, kali itu tidak dapat mentolerir nya lagi. Saya yang biasanya hanya diam karena tidak menginginkan keributan, pun akhirnya menyerah. Saya mengira bahwa dalam keluarga saya menemukan surga. Tapi nyatanya entah neraka atau apa itu namanya.

Singkat cerita, pertengkaran-pertengkaran saya dengan papa membuat saya keluar dari rumah. Mama yang saya harapkan mampu menahan kemarahan papa, bahkan tidak berusaha untuk menahan kepergian saya. Hanya Lunar yang berusaha keras menahan tangis – dan juga dalam hatinya berusaha menahan saya. Saya sungguh kecewa. Saya pergi. Saya ingin membuktikan pada papa dan mama bahwa saya pun mampu hidup dengan cara saya. Semua pandangan dan kepercayaan saya pada hidup tidak boleh direnggut. Sayapun ikut Angin. Sampai sekarang. Ya, saya tahu, macam di sinetron-sinetron saja alur hidup saya. Meskipun setuju, tapi saya tidak terlalu peduli juga. Toh sekarang saya tidak tahu kehidupan sinetron itu seperti apa. Kami tak pernah lagi menonton tivi, karena kami tak lagi punya tivi. Sudah dijual sewaktu kami perlu dana untuk ongkos berobat Angin yang divonis kena gejala tipus. Kini satu-satunya benda mewah di rumah petak ini adalah laptop butut yang dulu sempat saya beli dengan uang honor menulis yang saya kumpulkan selama dua tahun, ditambah uang hadiah ulang tahun dari teman-teman. Laptop tua inilah teman curhat saya hingga sekarang. Selain Angin, saya rasa laptop inilah benda yang paling mengenal saya dan segalanya yang bergumulan dalam otak dan hati saya.

Hidup dengan Angin adalah keputusan terbesar yang pernah saya ambil di sepanjang hidup saya. Entah apa yang waktu itu ada dalam pikiran. Saya bahkan tidak pikirkan bagaimana kami berdua akan hidup. Maksud saya, baik saya maupun Angin sama-sama tidak punya pekerjaan dengan penghasilan tetap. Saya memang dulu terkaang suka mengirimkan artikel ke majalah Citra. Tapi tidak rutin. Dan juga, berapa sih uang yang bisa saya harapkan? Betul-betul tidak bisa diandalkan.

Angin? Apalagi. Dia memang kerja paruh waktu sebagai pengantar surat di suatu perusahaan minyak. Tapi buat biaya kuliah saja sudah pas-pasan. Saya pikir saya sudah sangat beruntung bahwa cinta Angin sedemikian besar untuk mau menampung saya yang memang tidak memiliki tempat pelarian yang lain. Ya, saya cinta Angin. Dan hal yang paling saya syukuri dalam hidup saya adalah bahwa Angin pun cinta saya.

Hidup berdua dengan Angin, seperti yang sudah pernah saya duga sebelumnya, tidak mudah. Kami pernah bermimpi untuk segera menikah, punya anak, hidup nyaman. Seperti orang-orang lain. Saya rindu punya surga lagi. Tapi apa daya, Kalau buat sehari-hari saja kami mengais-ngais, bagaimana mau punya anak?

Tulis menulis tetap saya jalankan. Di awal kehidupan berdua kami, memang cuma itu saja pelarian saya atas kesusahan-kesusahan yang ada. Kalau sudah di depan laptop dan mulai menata susunan huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, dunia yang saya tulis seakan mengganti dunia saya dengan Angin. Sampai suatu hari saya pikir saya harus membantu Angin mencari tambahan uang. Untuk belanja lauk pauk dan sayuran padanan ikan asin kesukaan Angin. Saat mengobrol dengan Bu Indri, tetangga sebelah, tercetus ide brilian. Saya bisa jadi tukang cuci. Kata Bu Indri, rumah-rumah di kompleks depan suka memberikan kerja cuci buatnya. Dan Bu Indri menanyakan apakah saya bersedia membantu. Jadi, itulah kerja saya sampai sekarang. Papa bisa jungkir balik karena marah dan malu kalau sampai tahu. Tapi seratus ribu sebulan sebagai tambahan tidak mungkin bisa saya tolak. Tidak akan pernah Angin mendengar saya mengeluh kelelahan karena pekerjaan yang tidak pernah sedikitpun terlintas dalam mimpi saya dahulu. Pun tidak pernah Angin melihat saya menangis saat melihat bagaimana kuku-kuku saya rusak dan kulit tangan saya mulai terkelupas karena frekuensi penggunaan sabun cuci yang lumayan tinggi.

Jangan pikir bahwa kemiskinan dan kesusahan-kesusahan bisa menghapus mimpi-mimpi saya. Tidak akan pernah. Banyak hal yang harus saya lalui yang tidak pernah menjadi bagian dari mimpi-mimpi saya, tetapi saya masih tetap teguh dengan mimpi yang sama. Saya bermimpi suatu hari nanti bisa menjadi seorang penulis terkenal. Menulis adalah hobi saya sejak lama. Dan saya sempat merasa yakin bahwa saya bisa menulis dengan baik. Saya pernah yakin bahwa saya adalah penulis yang patut dipertimbangkan. Saya sempat yakin bahwa akan banyak penerbit yang berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan dan mempublikasikan karya-karya saya.

Ternyata memang mimpi saya bisa jadi kenyataan. Semua usaha dan tunggu saya sudah membuahkan hasil. Seperti mau pingsan rasanya waktu melihat novel saya sudah terpajang di toko buku Angkasa minggu lalu. Sesaat memang sempat terlintas hal-hal buruk dalam pikiran. Untung Angin cepat menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Ah, Angin… hebat sekali kamu menyimpan rahasia. Menjadikan ini semua sebagai sebuah kejutan. Saya yang agak mengacaukan kejutan besar ini. Angin sebenarnya mau memberikan kejutan besar ini sebagai hadiah ulang tahun. Tapi sudah keburu ketahuan. Tak apa. Asalkan mimpi saya bisa terwujud, semuanya tidak menjadi masalah.

***

Sudah sebulan sejak rahasia besar itu terbongkar. Dan saya belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan dari si penerbit. Angin juga terlihat kurang serius dalam menanyakan tentang honor saya. Mana hasil royalti yang janjinya bakalan saya terima? Katanya memang harus menunggu sampai terjual sejumlah kopi yang sudah disepakati dalam kontrak dulu baru royalti bisa dibagi. Tapi bukankah Angin pernah bilang sudah terjual seribu, dan bahkan hitung-hitungannya pun waktu itu sudah diberikan? Tanpa sepengetahuan Angin saya sering mendatangi toko buku dekat rumah itu untuk melihat perkembangan novel saya. Banyak sekali orang yang membeli novel saya. Dan malah kadang terlihat habis di rak nya. Masak belum cukup buku saya yang terjual? Ah, saya harus percayakan saja pada Angin. Saya betul-betul tidak tahu bagaimana mekanisme pembagian dan pemberian royalti itu. Saya tidak mengerti. Angin yang sudah dijelaskan oleh penerbit itu, dan dia pasti tahu apa yang harus dilakukan. Ya, saya seharusnya percaya saja pada Angin.

***

Hari ini hilang sudah kepercayaan saya pada Angin. Dia sudah menerbangkan rasa percaya yang saya pikir sudah tertanam, berakar erat dalam diri saya. Dia terbangkan rasa ragu sebagai gantinya kemari. Siapa Bunga? Dan kenapa di dalam formulir transfer yang kutemukan di kantong celana Angin tertulis nama Bunga? Jumlah uangnya pun tidak sedikit. Enam juta rupiah! Angka itu…?? Rasanya… ah, mungkinkah? Sebuah perusahaan penerbitan tidak mungkin menggunakan nama pribadi, bukan? Pikiran saya pun berkelibat, melonjak, berebut keluar jalur untuk mengemukakan berjuta alasan dan jawaban. Tapi saya hanya mampu terduduk diam dalam lamunan. Tekad saya pun bulat. Angin, saya harus mencari tahu.

§ One Response to 12 Desau Angin: Losing A Whole Year Part.8

  • Oddie says:

    “Nama saya Rumput.”
    Pembukaan yang seseru isi hingga akhirnya.

    Rumput?
    Aih, apa jadinya nama indah ini jika ditiup angin?
    Suka!

    @Oddie__

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading 12 Desau Angin: Losing A Whole Year Part.8 at Cubiculum Notatum.

meta