Aku (Bagian 5)

November 6, 2010 § Leave a comment


by Daniel Prasatyo @daprast

Aku menepikan mobilku di depan rumah berwarna putih itu. Kuambil Blackberryku dari dashboard. Kukirim pesan untuknya. “Mas sudah di depan.” Tak perlu menunggu lama, pesanku berjawab. “Oke.”

Pandanganku ku arahkan pada pintu gerbang yang mulai bergerak. Kuamati sosoknya yg mudah sekali dikenali. Ia tidak kurus, tetapi juga tidak gempal. Sempurna. Setidaknya bagiku. Ketika ia sudah dekat, wajahnya mulai terpapar cahaya. Ketampanannya luar biasa.

Kami tak banyak bicara. Lantunan tangga lagu di radio mengisi sela – sela kesunyian antara kami. Sesekali, aku mencuri pandang padanya. Hendra pun membalas pandanganku dengan rautnya yang manja. Senyumnya menggetarkan sendi – sendi tubuhku.

Sesampainya di apartemenku, kami tak perlu basa – basi lagi. Akal sehat kami telah dilampaui tingginya birahi. Bibirku melumat bibir merahnya yang basah. Lidahku menjelajahi setiap inci rongga mulutnya. Tanganku telah melucuti semua pakaiannya tanpa dia sadari.

Nafsu kami berpadu. Cinta kami bersatu.

Hendra masih terlelap dalam dekapanku. Nafasnya teratur, tak seperti ketika aku berhasil menghantarkannya pada puncak tertinggi surga dunia. Ada kedamaian pada wajahnya.

Hendra masih 15 tahun. Seusiaku saat aku pertama kali mencicipi nikmatnya mengabdi pada birahi. Seusiaku saat aku mengenal Mas Yudha dan Mas Rangga. Seusiaku saat aku menemukan surga di dunia yang tidak adil ini.

Saat itu, aku terjebak dalam dilema panjang. Aku menikmati belaian Mas Yudha dan kecupan mesra Mas Rangga. Aku tak berdaya ketika Mas Yudha menelusuri setiap permukaan tubuhku dengan lidahnya. Aku tak kuasa menolak Mas Rangga yang mengenalkanku pada sensasi rasa sakit yang sesungguhnya nikmat.

Tapi mereka laki – laki. Aku laki – laki. Aku tak pernah mendengar atau membaca sebelumnya bahwa apa yang kami lakukan dibenarkan oleh agama, ataupun oleh masyarakat. Aku merasa jijik; sesudah kejadian itu 15 tahun yang lalu, aku membilas tubuhku berjam-jam, seakan hendak menghapuskan segala dosa yang telah kubuat.

Namun aku tak pernah mampu menolak ajakan mereka. Tak sedikitpun ragu yang terbersit ketika mereka mulai mengajakku melakukan aktivitas yang benar – benar baru bagiku. Meski sesal selalu hadir, tak lama, iapun sirna.

Mungkin karena aku berhutang budi pada mereka. Tanpa mereka, aku akan putus sekolah. Tanpa mereka, aku takkan mampu berdiri sendiri. Tanpa mereka, mungkin aku sudah menyusul mama dan Eyang.

Kenyamanan itulah yang kujanjikan pada Hendra. Aku berusaha menjadi seseorang yang selalu ada di sisinya. Aku berusaha menunjukkan indahnya pelangi dan senja hari. Aku berusaha membantunya mempersiapkan masa depannya.

Teleponku berdering. Aku berusaha meraihnya, namun gerakanku membuatnya terbangun. Ia mengubah posisi tidurnya, berbalik menghadap tembok.

Retha.

Ia terisak di ujung sana. Ia terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi aku sedang berselingkuh dengan wanita lain. Aku berusaha menenangkannya. Aku berusaha meyakinkannya, bahwa tak mungkin aku menduakannya dengan perempuan manapun. Setidaknya, aku tidak berbohong.

Retha menerima begitu saja penjelasanku. Satu hal yang memudahkan hubunganku dengannya adalah kepercayaannya padaku begitu besar.

Baru saja kuletakkan ponselku, Hendra sudah tidak ada lagi di sisiku. Tapi aku tak perlu cemas. Bibir tipisnya sudah mencengkeram kejantananku. Aku mendesah, penuh kenikmatan. Di usianya yang sebelia itu, keterampilannya sudah mendekati sempurna. Aku mengerang. Sedikit lagi aku klimaks.

Dan klimaksku bertepatan dengan masuknya Retha ke kamarku.

(ke bagian sebelumnya) (ke bagian berikutnya)

Tagged:

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Aku (Bagian 5) at Cubiculum Notatum.

meta