Hari Pernikahanku

November 24, 2010 § 2 Comments


by Ekastri @ekastri

Pernikahan. Itulah yang akan menyatukanku dengan belahan jiwaku selamanya. Tapi, apakah pria yang akan kunikahi senja nanti memang belahan jiwaku? Pria yang telah dipilihkan oleh orang tuaku, yang tak pernah sedikitpun mendapatkan cintaku.

Calon mempelaiku, pria mapan dan terpandang, lebih pantas menjadi ayahku dari pada menjadi kekasihku. Aku pun bukan istri satu-satunya, masih ada dua lagi wanita yang telah dinikahinya. Dia menikahiku hanya karena nafsu dan gengsi, sedangkan aku demi menyenangkan orang tuaku.

***
Pemuda bersahaja itu, kepadanyalah cintaku tertambat. Tapi, tak mungkin aku menikah dengannya. Tanpa restu dari orang tuaku, hubungan kami pun harus kujalani secara sembunyi-sembunyi. Dan pada akhirnya pemuda itu rela melepaskanku untuk menikahi pilihan orang tuaku.

***
Beberapa jam sebelum pernikahanku, dengan nekat, aku pergi menemui pemuda bersahaja itu. Aku telah memintanya menantiku di tempat biasa kami bertemu, taman bunga dekat rumah. Ada yang ingin kupinta darinya.

‘Bawa aku pergi bersamamu, nikahi aku. Aku tak ingin menikah dengan pria tua itu.’

‘Tidak! Menikahlah dengannya. Dia lebih bisa membahagiakanmu, tidak sepertiku,’ ujarnya dengan mata berkaca.

‘Tapi aku mencintaimu! Dan kamupun mencintaiku!’ Tanpa dapat kutahan, pipiku telah basah oleh air mata.

‘Karena cintaku inilah, aku rela berkorban apapun untukmu, termasuk perasaanku. Menikahlah dengan pria itu,’ ujarnya sambil mengusap rinai air mata di pipiku.

‘Lalu mengapa kau menolak menikahiku jika memang mencintaiku?’ kutatap lekat matanya, seakan ada sesuatu yang disembunyikannya di sana.

‘Maaf…, aku tak jujur kepadamu sebelumnya. Umurku sudah tak lama lagi. Apa yang kau harapkan dari orang sepertiku?’

‘Oh — mengapa tak pernah kau ceritakan sebelumnya?’ sahutku cepat untuk menutupi keterkejutanku.

‘Aku tak mau membuatmu terluka.’

‘Maukah, kau berkorban terakhir kalinya untukku?’ pintaku dengan air mata yang semakin deras mengalir.

‘Apapun untukmu sayang,’ ujarnya sambil mengecup keningku.

Lalu aku pun mulai mengecup bibirnya, hangat dan lembut. Dan ketika bibir kami bertaut semakin dalam racun yang telah kuoleskan ke bibirku mulai bereaksi. Kamipun limbung dan tersungkur di tanah sambil berpelukan.

‘Hanya dengan cara ini kita dapat bersatu, kekasihku. Mempelaiku.’ Bisikku sebelum mataku tertutup untuk selamanya.

Teori Kita dan Ide Gilaku

November 7, 2010 § 2 Comments


by Lely Pangerang @eLpangerang

Kalau saja hubunganku dengan Fikri tidak berakhir, Nanna (begitu aku memanggil nenek) tidak akan melaksanakan niatnya yang telah lama ia kubur. Dan ide gilaku juga tidak akan muncul.

Kamu ingat teori kita? senjata andalan kita yang selalu berhasil menangkis gurauan serius dari temanmu, temanku, atau teman kita; yang mulai terusik melihat persahabatan kita. “Kelihatannya kalian tidak hanya cocok sebagai sahabat, kalian pasangan yang serasi, kenapa kalian tidak pacaran saja? atau sekalian nikah”. Kamu, aku, tak suka kata-kata itu. Lalu dengan cepat kita mengeluarkan teori kita. “Ketika 2 anak manusia yang berbeda jenis kelamin terlalu mirip satu sama lain dalam segala hal, tak bisa menjalani sebuah ikatan seperti pacaran ataupun pernikahan karena tak akan ada saling melengkapi disana. Karena cinta menurut kami adalah saling melengkapi”. Teori yang mereka benci itu, teori yang kita bangun dan berdiri kokoh itu, akan runtuh jika aku menceritakan ideku ini dan kamu menyetujuinya.

Awalnya aku juga kaget. Ini terbersit begitu saja dan tiba-tiba, beberapa hari lalu ketika aku melihatmu ikut membantu persiapan pernikahanku dengan Alif–ya, Alif..lelaki pendiam tapi baik hati—yang dipilihkan Nanna untukku. Apa mungkin ini bentuk penolakan bawah sadarku terhadap perjodohan ini? yang tidak mungkin ku lakukan karena itu sama saja menyakiti Nanna yang mengasuhku sejak kecil. Aku tak tahu pasti.

“Assalamu alaikum”

“Wa alaikum salam” membalas salam, seketika lamunanku terhenti.

“Hai Wen, kapan datang?”

“Ini baru dari airport langsung ke sini”

“Duduk yuk Wen… Gun… aku panggilin Nanna dulu”

Aku tersenyum kecil. Mana mungkin kita, 2 sahabat, menikah; kamu sudah punya Wenny. Ah, ideku memang gila.

Dan teori kita pun masih tetap berdiri disana, dengan kokohnya. Atau mungkin dengan angkuhnya?.

Aku (Bagian 6)

November 7, 2010 § Leave a comment


by Daniel Prasatyo (@daprast)

Aku tak pernah lagi bertemu dengan Hendra, setidaknya selama dua tahun terakhir ini. Malam itu, Retha dan Hendra sama – sama menangis. Aku terdiam. Sumpah serapah mengalir deras dalam kubangan air mata Retha.
Tak ada yg perlu dijelaskan lagi. Apa yg disaksikan Retha sudah sangat jelas. Konsekuensinyalah yang masih kabur, masih buram. Retha tidak ingin meninggalkanku.

Akhirnya Hendralah yang harus pergi dari kehidupanku. Atau sebenarnya, akulah yang harus meninggalkanku kehidupanku sendiri, selamanya. Sejak malam itu, Retha tinggal di apartemenku. Mobilku di bawah kekuasaannya, juga ponselku. Aku terpenjara. Aku mati.

Delapan bulan terakhir, kami disibukkan dengan persiapan pernikahan kami. Well, sesungguhnya, aku sama sekali tidak punya peran di sini. Semua keputusan dan pilihan ada di tangan Retha. Aku hanya wajib berada di sana, dan tentu saja, membiayai semuanya.

Setiap malam, Retha selalu menuntutku untuk mencumbunya. Terapi, katanya. Suatu saat aku pasti akan bisa melupakan orientasiku, menurutnya. Aku menyangsikannya, namun aku tak punya pilihan. Aku hanya bisa berusaha semampuku, menuruti kemauannya agar ia bahagia.

Karena bila ia bahagia, aku takkan lebih menderita.

Persiapan kami sudah hampir matang. Gedung, undangan, gaun pengantin, semuanya sudah dipesan. Dan untuk yang mengenal Retha dengan baik, pilihannya tak pernah yang nomor dua. Tabunganku hampir kandas dibuatnya.

Dan hari ini genap dua tahun sejak malam itu. Aku tak lagi punya akses untuk sekadar mencari tahu kabar terbaru tentang Hendra. Jujur, aku sangat merindukannya. Hanya dia yang mampu membuat hidupku seimbang. Lengkap. Sempurna.

Malam ini, Retha pulang ke rumah orang tuanya. Tradisi. Karena hari Minggu ini kami akan melangsungkan pernikahan kami. Aku menangis sejadi-jadinya. Jiwaku terluka. Aku kehilangan cinta yang paling berharga dalam hidupku. Dan dalam hitungan hari, aku akan kehilangan hidupku karena cintanya.

Teleponku berdering. Tanpa kulihat siapa yang menelepon, langsung kujawab dengan sapaan sayang.

“Mas.., ini Hendra.”

Aku terdiam, terpaku. Seluruh sel-sel dalam tubuhku seakan luruh, runtuh, luluh. Ia menangis.

Ia menceritakan penderitaannya dua tahun terakhir. Ia memutuskan untuk pindah sekolah, pindah kota, segera setelah malam itu. Ia merasakan kehampaan — persis seperti yang kurasakan.

Tak ada bendungan di dunia ini yang mampu menahan luapan air mataku. Meski hampir tiap malam aku menangis, masih banyak sekali pasokan air mata dalam diriku.

Ia mengakhiri pembicaraan kami dengan doa, agar aku bahagia. Tak sedikitpun ia memintaku kembali padanya, meski aku tahu itulah yang ia dambakan. Yang aku dambakan.

Malam ini adalah malam terpanjang dalam hidupku. Aku bahkan tak mampu merasakan apakah kakiku masih menginjak lantai, atau sudah melayang, mengambang.

Jack Daniel menemaniku melewati malam, mengarungi lautan dilema. Kepulan asap rokokku seakan kabut yang meliputi kegelisahanku. Tatapanku tak mampu kulepaskan dari tuxedo yang sudah siap di hadapanku. Pikiranku tak mampu kulepaskan dari laki – laki yang paling mengisi hatiku.
Jiwaku mengembara entah ke mana.

Alarm ponselku berbunyi. Sudah saatnya aku bersiap. Sudah saatnya aku mengakhiri kebebasanku. Sudah saatnya aku menjalani perbudakan seumur hidup.

Kukenakan tuxedo hitam itu tanpa semangat. Aku melangkah gontai keluar dari apartemenku, penjaraku selama dua tahun terakhir dan sepanjang sisa hidupku kelak. Kujalankan mobilku. Menuju gereja, menuju neraka.

Panggilan terakhir boarding. Tanpa persiapan apapun. Tunggu aku di kotamu, Hendra.

(ke bagian sebelumnya) (ke bagian berikutnya)

Surat Cinta untuk Istriku Kelak

November 7, 2010 § Leave a comment


by Raditya Nugie @radityanugie

Sebuah kolaborasi indah antara Raditya Nugie dan Disa Tannos. Satu paruh dari dua karya. Sila menebak yang mana muncul pertama.

Dear istriku kelak, malam ini akan terlahir kalimat-kalimat dari rahim kesepian yang disetubuhi oleh malam. Maka aku meminta maaf terlebih dahulu karena tak punya cara untuk mengirimkan surat ke alamatmu yang entah di mana. Mungkin kau masih di sana, terselip di antara barisan jarak dan waktu sebagai sebuah bingkisan cantik dari Tuhan.

Istriku, baru kali ini aku merasa dinding tak punya telinga, atau dia hanya pura-pura tuli dan menjadi dingin karena muak mendengar semua keluhan-keluhanku selama ini, maka aku ingin menuliskan secarik surat untukmu. Sebuah surat tanpa balasmu yang akan kubacakan di luar jendela kamarku. Sebab angin adalah tukang pos yang bersedia mengantarkannya kapan dan di mana saja. Semoga sampai ia ke jendela telingamu, tempat di mana aku bisikkan cahaya-cahaya pagi, atau sampai di beranda mimpimu, tempat aku mengecupkan selamat malam dan berjaga, atau mungkin sesekali kau mengajakku ke dalam untuk memelukmu sepanjang malam.

Istriku, kelak kita akan menempati sebuah rumah yang dibangun oleh jerih cinta yang ingin menjaga, rumah yang akan memberimu atap dari panas dan hujan, dan kelak akan kubuat perigi di telapak tanganku untuk menampung anak-anak bening yang terlahir dari mendung di matamu.

Istriku, kita tak perlu rumah dengan dua lantai yang terdapat balkon untuk kita berbaring berdua menatap bintang, sebab ranjang kita adalah balkon tempat kita melihat bintang begitu dekat. Ya istriku, di kamar kita akan terbiasa membintangkan tatapan, dan aku akan senantiasa mencuri wajah bulan untuk menyempurnakan mata bintangmu.

Istriku, kelak di rumah kita tak perlu ada perapian, sebab di sana kita akan belajar memberi dekapan hangat yang lebih hangat dari baju hangat yang dirajut oleh benang bara, sebab pada dekapku kau akan merasakan hangat secukup dan seutuhnya.

Istriku, kelak akan kita buat halaman di belakang rumah, tak perlu terlalu besar, hanya untuk tempat anak-anak kita bermain di antara cinta dan doa yang kita tanam dan tumbuh sebagai bunga, dan daun-daun yang luruh menghumus menumbuhkembangkan cinta dan doa kita di sana.

Istriku, malam semakin puncak, dan aku harus terlelap memimpikanmu. Dan suatu hari secarik surat ini akan sampai pada alamatnya, tentang kerinduanku yang diabadikan oleh jejak-jejak pena untukmu.

Selamat malam kekasih,
semoga senantiasa Tuhan menjagamu di sana.<

<baca juga paruh lainnya: Surat Cinta untuk Suamiku Kelak>

Surat Cinta untuk Suamiku Kelak

November 7, 2010 § 1 Comment


by Disa Tannos @jemarimenari

Sebuah kolaborasi indah antara Raditya Nugie dan Disa Tannos. Satu paruh dari dua karya. Sila menebak yang mana muncul pertama.

Teruntuk calon suamiku kelak,

Kemarin sepi membawamu padaku, lewat detik-detik yang membentang malam. Kamu ada di situ, terselip di antara hembusan asap, timbul tenggelam dalam pekat kopi, melayang bersama tiap petik melodi. Kucoba mencari namamu di balik tiap bintang, mereka-reka rupamu pada permukaan bulan, tapi mana mungkin mereka bocorkan rahasia Tuhan?

Jadi kubiarkan kamu tetap di sana, seperti malam-malam lainnya, serupa khayal berserak abstrak. Sementara aku menikmati tiap putaran bumi serta cinta yang datang dan pergi, seperti kisah-kisah pembuka sebelum akhirnya hati kita terkuak. Sambil menerka-nerka apakah kamu juga melakukan yang sama, entah di belahan bumi bagian mana.

Suamiku, aku mendamba saat di mana cinta tumbuh dan memeluk kita manja. Kuyakini akan indah—mungkin seperti meniti pelangi usai hujan dengan surga di ujungnya. Pelangi yang semoga tak pernah memudar. Aku tak perlu takut jatuh meski bahaya membentang di bawah, karena kamu akan ada di sisiku dan menuntun tiap langkah. Sesekali kita akan tergelincir, mungkin terkilir. Tapi aku percaya, sayang, tiap bekas luka akan jadi kisah manis peramu tawa, tersimpan rapi di serambi rumah kita.

Rumah itu, suamiku, akan jadi tempat lahirnya kehidupan baru. Tempatmu membuka pagi dengan minuman hangat buatanku. Tempatku menutup malam dengan kecupan lembutmu. Kita akan mengukir mimpi dan kenangan pada tiap sudutnya, dengan guratan-guratan cinta. Kamu akan jadi imam bagiku, atap dan penghangat, pelindung segala resah. Aku akan jadi sejuk untukmu, pembasuh tiap peluh, penadah tiap lelah. Lalu waktu, pada tiap jengkal udara, memainkan lagu yang manis, pengiring kita berdansa, bercinta, hingga mabuk oleh hasrat yang tak habis.

Suamiku, untukmu aku akan melahirkan tangan-tangan dan kaki-kaki mungil pembawa jiwa suci. Lalu bagi merekalah kita akan jalani hari, denganmu mengajarkan mereka kehidupan, dan aku merawat mereka penuh kelembutan. Mereka akan bermain di samping kolam berteratai, di mana tak terhitung kasih telah kita semai. Juga ribuan dongeng sebelum tidur, jutaan doa hingga dewasa, sampai akhirnya alam memeluk kita. Dan hingga masa itu tiba, kita akan tetap berpeluk, saling bersandar dalam damai.

Kamu yang akan menjadi bagian masa depanku,

akhirnya kutuliskan surat ini pada bintang yang dibawa peri-peri, agar pada suatu malam nanti mereka dapat membawamu pada rinduku lewat sayap-sayap mimpi. Selamat tidur, sayang, jalanilah hidupmu dengan baik hingga Tuhan menyatukan kita nanti.

<baca juga paruh lainnya: Surat Cinta untuk Istriku Kelak>

Last Poem For Eternity

November 7, 2010 § Leave a comment


by Zahrani Ariyani @zahranoii

20 puluh tahun sudah aku berada dibumi ini,18 tahun aku merasakan kasih sayang seorang ibu bersama dua adikku, lalu 2 tahun nya lagi aku mulai belajar untuk belajar menjadi sosok perempuan untuk mengurus kedua adikku dan ayahku.

Selama delapan belas tahun, ibuku selalu berkata “kamu harus bernasib lebih baik, daripada ibu dulu, ibu sama ayah mau ngelakuin apa aja yang bisa bikin kakak bahagia”. Ibu ku adalah sosok wanita yang kuat, beliau adalah seorang wanita, tapi dia bisa memopang pondasi keluarga kami, (karena kebetulan ayahku di PHK ketika negri ini mengalami krimon). Orang tuaku adalah orang tua yang kuat. Kuat, karena ada cinta di antara mereka, dengan apa mereka membangun keluarga ini.

Aku sangat mengagumi sosok ibuku, dia memberikan pesan “kamu harus cari suami yang seperti ayah”.

Tanggal 24 mei 2008 adalah hari ulang tahun ayah. 30 mei 2008, Tuhan memanggil ibu karena kecelakaan yang dialami beliau sehari sebelumnya. Saat hari ulang tahun ayahku, beliau menuliskan puisi untuk ayah sebagai hadiah untuknya, dan sebagai puisi dan kado terakhir darinya.

to my wonderful husband

how do i begin to tell you how lucky i am

to have you in my life?

i’ll start by saying those very touching words you said to me

the day you became my husband

you’ve been my best friend in the good times

and my rock in times of sorrow

you’re the reason for sweet  old days

and promises for tomorrow

i never thought i could feel this loved

until you became my husband

you made this year and every year the one for me

hopefully God will always give His blessing to us and our kids

love always, your wife



Dua Jadi Satu

November 7, 2010 § Leave a comment


by Bunga S. Putri @bunga_sp

Dentang pertama lonceng
Semangat mentari bersinar
Semu biru langit bertabur pekat gumpal awan
Embun tetes dari beku pucuk daun
Angin desir. Dingin menyapu debu
Detik berdetak mengiring

Dentang kedua lonceng
Gaun putih rekah purna
Merah rona pulas pipi
Tipis senyum menggaris. Cantik
Airmata tertahan haru biru
Langkah pasti penuh yakin
Rangkum asa. Mimpi
Satukan janji dua insan

Dentang ketiga lonceng
Setia sumpah terucap
Dua nan jadi satu
“Yang dijadikan Tuhan tak boleh dipisahkan oleh manusia”
Seikrar sehidup semati bersama
Dua nan jadi satu
Langkahi detik bersama
Habiskan sisa waktu tersisa
Sebelum sang maut memisahkan.

Sepasang Calon Pengantin

November 7, 2010 § 3 Comments


by Rendra Jakadilaga @therendra

Adik,

Jangan kau rajut gaun pengantinmu dari air mata,
nanti duka yang kau kenakan…

Adik,
Jangan kau sulam bunga-bunga cacian ke atas kerudungmu,
kelak hina yang kau kenakan…

Adik,
Jangan kau gosok sepatu putihmu dengan amarah,
niscaya tengkar yang kau kenakan…

Adik,
sesekali tertawalah di mari bersama abang,
jangan terlalu larut kau dengan persiapan pernikahan kita,
agar kerut di wajahmu lelah, berganti rona bahagia

Adik,
sesekali duduklah manja di pangkuan abang,
jangan terlalu purna kau rencanakan pelaminan kita,
agar penat di kaki mungilmu, terhapus semburat lega

Adik,
sesekali bercandalah dan cubitlah abang,
jangan terlalu serius kau bikin tema ijab kabul kita,
agar bahagia hidupmu, cuma bersamaku

Adik,
biarkan abang,
seka keringatmu sesekali,
cium keningmu sesekali,
agar tidak kau bosan
Adik,
biarkan abang,
mencintaimu seterusnya,
agar tidak kau resah

Sembilan Sketsa Pernikahan Putri

November 7, 2010 § Leave a comment


by Meliana Indie @melianaindie

– Seorang Putri Dari Kerajaan Dongeng –

Putri merasa seperti seorang putri sungguhan malam ini. Gaun yang dikenakannya panjang menyapu lantai dengan untaian renda dan sebuah simpul manis pita di belakang. Rambutnya digelung, menampilkan leher jenjangnya yang dihiasi oleh seuntai kalung berlian yang berwarna senada dengan gaunnya. Di jari manisnya, melingkar sebuah cincin emas putih bermata berlian. Senyum Putri tak pernah lepas dari bibirnya yang merah mengilap basah. Malam ini memang adalah malam yang sempurna untuk sebuah pesta pernikahan yang sempurna juga.

– Tapi Aku Tahu Rahasiamu, Putri –

Renata tersenyum, menatap sahabatnya yang sedang berbahagia di kejauhan. Ah, Putri, gumamnya dalam hati, kau pantas tersenyum malam ini. Menjebak seorang yang kaya seperti Bintang untuk menghamilimu, lantas memintanya menikahimu, adalah pekerjaan tersukses yang pernah kau lakukan seumur hidupmu. Good job, Putri.

– Malam Juga Menyimpan Cerita –

Di pojok ruangan, seorang lelaki menggenggam jemari perempuan berpipi tirus yang duduk di sebelahnya. “Kau cantik, sayang”, bisiknya mesra, sementara ingatannya memutar pada siluet lekuk tubuh sang pengantin dan malam-malam mereka yang basah.

– Kue-Kue Manis Berlapis Gula –

Seorang perempuan bergaun biru tua mengambil sepotong besar kue mangkok berlapis gula warna pelangi dan menyimpannya buru-buru ke dalam plastik kresek hitam. Hati-hati, ia berpindah ke meja sebelah kiri. Berpura-pura tersenyum pada wajah-wajah yang tidak mengenalinya. Diam-diam, ia iri pada pesta pernikahan. Ia sendiri adalah seorang ibu tunggal yang tidak pernah menikah dengan seorang anak laki-laki buta di rumah.

– Simfoni –

Jemari tangan si pemain piano seakan menari dalam tarian gelombang yang harmoni dan indah. Tak ada yang tahu, lagu bahagia yang dimainkannya berasal dari hatinya yang luka. Minggu lalu, istrinya minggat bersama sahabatnya, seorang pemain biola.

– Ibu dan Kekasih –

Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu kecuali melihat anak perempuannya menikah, apalagi bila calon menantunya itu adalah orang yang super kaya. Mungkin tak lama lagi ia dapat meminta Putri membelikannya sebuah mobil. Tak usah yang mewah, yang penting cukup untuk membahagiakan Rando, pacar barunya yang berusia 23 tahun.

– Curahan Hati Seorang Perempuan –

“Dan mereka hidup bahagia selama-lamanya? Hah! Tai kucing! Putri yang cantik, Putri yang malang, kau tak akan pernah memiliki Bintang seutuhnya. Satu-satunya perempuan yang dicintai Bintang adalah aku. Ia hanya takut kehilangan warisan apabila menikahiku. Bapaknya tidak ingin anaknya menikahi seorang janda. Jadi kau, Putri sayang, hanya topeng. T-o-p-e-n-g. Mengerti?”

– Kemewahan Perasaan bahagia –

Gedung tempat diselenggarakan pesta disulap indah seperti negeri dongeng. Para undangan semakin ramai berdatangan, saling memamerkan perhiasan terbaru mereka dan liburan keluarga yang mewah ke negara bersalju. Sang pengantin melenggak dengan anggun menyalami para tamu. Senyum lebar yang ditampilkannya tak mampu mengusir rasa cemas yang sekarang terbit sempurna di dalam dadanya. Kemana sang mempelai lelaki?

– Akhir dari Sketsa –

Bintang, malam ini, tidak menampakkan diri.

Dan di luar, langit kelam seolah akan menghadirkan hujan.

Doa

November 7, 2010 § Leave a comment


by Dian Harigelita @harigelita

Tanpa disadari langkah kaki kita saling mendekat. Di sela kesibukan hari, terdapat rumus sederhana. Pada setiap perbuatan baik, kita mendekat sedepa. Di kala ingkar, kita mental terjungkal. Maka tak pernah lupa kupintakan pada Tuhan, bimbinglah kami dalam kebaikan.

Surat Cinta untuk Minta Izin Selingkuh

November 7, 2010 § Leave a comment


by Angin Buanapati @ang1n

sayangku,
aku tak pernah merencanakannya
aku bahkan tak pernah membayangkannya
tak sedikitpun juga terlintas melakukannya
dan hari itupun datanglah…

kau ingatkah ketika kau bertanya,
apa yang akan kurasakan bila bertemu dengan orang yang mirip denganmu?
dan aku jawab, aku takkan menoleh?
dan lalu kau tersenyum, puas dengar jawaban aku?

tadi, sayangku,
aku bertemu dengannya, aduhai
orang yang parasnya nyaris serupamu
yang tertawa pada leluconlelucon padamana tawamu berderai
tawanya pun hampir segelakmu
dan menangis pada saatnya air mata terurai
isaknyapun mau dekat sesendumu

percayakah
ketika kutanya ia apa makna hujan
jawabnya sama dengan jawabmu: air mata
ketika kunyanyikan tentang air mata
ia mainkan musikmu sendu: perpisahan
ketika kubacakan dongeng tentang perpisahan
ia puisikan sebait sajakmu: angin dan rumputan
ketika kutuliskan selembar partitur seperti desau angin dan tarian rumput
ia diam, menengadah sepertimu, sekan tahu: hujan

aku bersumpah sayangku,
aku tak pernah merencanakannya
aku bahkan tak pernah membayangkannya
tak sedikitpun juga terlintas melakukannya
dan hari itupun datanglah…

ketika kami ramai mendebat seperti aku dan kau biasanya
datang sunyi sekejap
dan kurasakan beda denganmu
saat seperti itu,
kau biasa langsung mulai berceloteh lagi
dan lupa menanyakan perasaanku
dia tidak
dia diam dan mengecup keningku
dia berkata:
aku tau kau ingin menanyakan apa yang kurasa
maka aku diam
tanyakanlah

dan pada itu sayang
pertahananku goyah
runtuh sedikitsedikit tiang penyangga kesetiaanku

kusadari kelemahanku:
ia hantumu
menjelma persis denganmu
menyanyikan lagu kesukaanmu
dan makan makanan favoritmu
ia hantumu
yang tak punya
sifat yang kubenci darimu

izinkan aku, sayang,
sekejapsekejap bersamanya
sekejapsekejap saja
agar kutahu nilaimu bagiku

Pernikahan Buta

November 7, 2010 § Leave a comment


by Michelle Felicia @michellecia

Percayalah, kejujuran adalah bentuk kepedulian dan empati pada sesama.

Diangkat dari kisah nyata.

Leny, seorang ibu dari sahabat terdekat saya. Selain cantik, ia ramah dan seorang istri yang soleh. Selalu memenuhi segala kebutuhan suami dan selalu berdiri di garis depan masalah keluarga bahkan ketika keluarga mereka bangkrut. Ia dengan tegar memulai semua dari awal, sendirian, sedangkan suaminya tenggelam dalam depresi. Merupakan sebentuk perjuangan yang berat, karena disamping memulai semua dari awal, ia pun harus menyelamatkan suaminya dari keterpurukan emosi.
Namun, wanita perkasa pun memiliki kelemahan. Ketahanan dirinya pudar saat malam itu ia memergoki suaminya sedang bercumbu dengan satpam di parkiran belakang.
Leny menahan nafas. Ia mual. Leny berjalan perlahan menuju mobilnya.
Leny pulang ke rumah dengan wajah pucat. Ia duduk di sofa dan terdiam lama. Tidak lama kemudian suaminya pulang dan menghampiri Leny untuk memeluknya. Ia mengecup pipinya dan berlalu menuju kamar.
Leny tersadar, apakah selama ini ia terbutakan oleh cinta? Bahwa pernikahan yang dijalaninya ini hanya kedok suaminya semata?
Leny akhirnya meminta kejujuran suaminya, dan berjanji akan menerima segala fakta di baliknya.
Suaminya pun akhirnya dengan terbuka menceritakan perasaan terpendamnya pada satpam itu, dimulai sejak 3 bulan yang lalu. Sebenarnya ia memang gay, dan selama ini ia berusaha untuk tidak mengecewakan orang tua dengan membangun keluarga yang “normal”. Sungguh, ironis.

Karena Mey Hong

November 7, 2010 § Leave a comment


by Laksmi @Hei_L

Aku bersembunyi di balik lemari, ini malam pertamaku. Seharusnya ini adalah malam yang indah untuk pasangan suami istri baru. Terkecuali untukku yang diperistri seorang pria lapuk gendut.  Ranjang besi yang menjadi tempat tidur pengantin kami berderit, jantungku mulai berdetak tak karuan. Lemari yang sempit ditambah baju ala pengantin Cina ini seakan mencekikku. Ko Hong mulai celingukan ketika kulihat dari pintu lemari. “Meeeeeyyyy…..”, Ko Koh memanggilku merdu. Kali ini rasanya perutku sedang berakrobat, berjumpalitan membuat benang kusut. Ranjang kembali berderit diikuti suara gesekan sandal. Aku kembali mengintip, kini rasanya aku seperti mau mati, Ko Koh melewati lemari. Aku bergerak tak sengaja membuat gaduh. Pintu terbuka. Ko Hong membelalak melihat aku di dalam lemari. Aku terkejut. Benar-benar pingsan.

9 bulan kemudian….

Persalinanku memakan waktu yang cukup lama. Keringat sebesar biji jagung turun satu persatu dari pelipis si gendut. Ko Hong menggenggam tanganku khawatir… Ia terus berbicara dalam bahasa Cina Kantonnya yang kental. Terkadang aku mencair melihat Ko Hong yang penuh cinta. Tapi aku sebal, ia seperti memperkosaku saat aku jatuh pingsan di malam pertama kami. Kehidupan selama 9 bulan ini penuh warna. Ko Hong yang begitu dewasa tampak merasa bersalah. Aku yang masih muda dikuasi oleh emosi yang menggebu. Di awal pernikahan aku begitu manja, menyuruhnya kesana kemari untuk membeli berbagai keinginanku. Terkadang aku tertawa melihatnya penuh dengan keringat, badan gendutnya memerah menahan lelah.

Sore ini lahirlah putri cantik kami. Aku menyusuinya berseri. Dengan bibir semerah buah ceri ia menyusu di dadaku yang ranum. Rambutnya yang hitam pekat sangat lebat. Ko Hong yang tak berani mendekat hanya berdiri di sudut ranjang memperhatikan kami. Aku dan putri mungilnya. Buah cinta kami. Pada detik itu aku melihat Ko Hong sangat bersinar. Bukan karena perut gendutnya. Karena hatiku mulai bergetar setiap kali ia menatapku penuh kasih. Aku menitikkan air mata. Kini aku tahu, Opa menjodohkanku dengannya karena satu hal. Ko Hong orang yang sangat baik. Aku tersenyum memintanya mendekat. Ko Hong terbelalak. Ia mendekat. Menitikan air matanya saat menyentuh bayi mungil kami, lalu ia berkata sambil mentapku pasti, “Mey Hong cantik seperti Ibunya”.

Will You Marry Me?

November 7, 2010 § Leave a comment


by Adellia Rosa @adelliarosa

“Jadi kapan kamu nikah sama Hendrik?” mamaku bertanya pada suatu pagi. “Iya ma, belum waktunya aja..” jawabku ringan. Mamaku hanya tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya “Tunggu apalagi sih? Karir mapan, usia mencukupi, lalu apalagi?” Aku memilih tak menjawab, daripada bertengkar dengan mamaku. Aku berpamitan, lalu pergi ke kantor, meskipun ini masih terlalu pagi.

Sebuah pesan singkat mengejutkanku dari lamunanku mengenai mamaku pagi tadi. “Nanti lunch yuk. Kujemput ya..”, rupanya dari Hendrik. Pria yang sudah menjalin hubungan denganku selama 10 tahun. Pria yang mengasihiku, pria yang kukasihi. Pria yang selalu kutunggu untuk menikahiku. “Nanti sore aja jemput aku ya, aku lagi banyak kerjaan”, tulisku singkat. Sore nanti aku ingin mengajaknya bicara masalah pernikahan.

Hendrik menjemputku di lobi kantor dengan basah kuyup. Hujan sedang mengamuk diluar sana. Dia selalu melarangku berjalan sendirian ke mobilnya, meskipun jaraknya hanya beberapa meter. Terkadang ini memang menyebalkan, tapi Hendrik memang selalu memperlakukanku dengan istimewa.

“Mau langsung pulang, atau mau kemana Esha sayang?”, tanya Hendrik sembari memelukku yang kedinginian. Kucubit lengannya seraya mendorong badannya. “Makan dulu yuk, sekalian ngobrol. Hei kamu jangan genit, peluk-peluk aku sembari nyetir, bahaya…”, Hendrik menghentikan mobilnya didepan restoran Jepang favoritku. Tak peduli badan kami basah kuyup, tak peduli puluhan pasang mata menatap kami keheranan. Beberapa bahkan mencibir, kami tak peduli. Kami tak pernah peduli apapun selain kami sendiri.

“Mau ngobrol apa Sha? Tumben…”, ujar Hendrik mengawali percakapan kami, setelah kami menyantap ludes sushi yamg kami pesan. “Iya nih, kamu ditanyain mama terus tuh…”, Hendrik cekikikan, kedua matanya berkilat-kilat nakal. “Mama yang kangen apa kamu yang kangen?”, aku memasang muka serius, meskipun itu tak mudah mengingat ekspresi Hendrik yang sangat usil. “Mama nanyain kapan kita nikah”, ujarku bersungut-sungut. Hendrik menghela napas, lalu kembali tersenyum-senyum. “Ooh masalah itu, ya udah kita nikah aja…”, ucapnya santai.

Aku mulai cemberut, Hendrik mengerti ekspresiku yang kesal. Dia langsung berubah serius. Kulihat tangannya merogoh sesuatu dari sakunya. “Will you marry me?”, ucap Hendrik serius. Aku tertegun, aku melihat sebentuk cincin bermata biru, bibirku terkunci. Hendrik memegang tanganku, lalu berkata, “Aku ingin meminangmu di saat ulang tahunmu minggu depan… Tapi sudahlah, menikah saja denganku…” Aku tetap diam, namun aku menghambur ke pelukan Hendrik. Aku akan segera menikah dengannya!

Pernikahan Itu

November 7, 2010 § Leave a comment


by Rendra Jakadilaga @therendra

selamat. selamat saja.
separuh jawaban hidup telah dengan berani kau ajukan
entah betul pendapatmu. entah keliru.

selamat. selamat saja.
gerlap tabur kembang tujuh rupa di pelaminanmu sempurna memadu dengan legam kulitmu.
sayapmu lengkap sudah. bisa melayang.
agar kami yang masih cericit bisa iri memandangimu di angkasa.

selamat. selamat saja.
setelah ribuan benua kaujelajah cari sang putri,
kau temukan ia meringkuk dingin
dalam antara puisipusisimu
tentang hujan
dan sekonyong kau hanya seorang pria:
bukan pangeran. bukan ksatria.
dan diam kau di sana menemaninya
dengan katakemata
yang bahkan tak pernah ia faham.

selamat. selamat saja.
meski lagu pernikahanmu terpaksa tanpa suaraku,
aku janji
aku bernyanyi sembilanpuluhsembilan lagu:
separuhnya tentang kebahagiaanmu
separuhnya lagi tentang penyesalanku
nadanada yang kudendangkan bahkan kental dengan darah kita
yang sama yang tempohari pernah kita rangkai bersama
pada partitur kusam milik kakek
lirikliriknya masih saja absurd. tapi penuh.
dan gitar mainkannya tempohari itu masih sumbang saja.

selamat. selamat saja.
selamat. selamat saja.
selamat. selamat saja.
karena bel pernikahanmu belum akan padam tigahari ini, kurasa hujan ikhlas menunda kunjungannya

(tolong cantum namaku sahaja di bukutamu. aku ingin hadir)

Pinangan Kosong

November 7, 2010 § Leave a comment


by Angghie Gerardini @njiegerardini

2 September 2009
“Hai, ini pertemuan pertama kita bukan?”
“Ayo kita mulai.”
“Mulai? Apa maksudmu?”
“Mengurai ucap. Tentang kita.”

3 September 2009
“Terlambat.”
“Maaf. Harus melayani adat yang pongah.”
“Apa kau tak jengah?”
“Lebih dari itu. Rasanya aku mulai rapuh dirayap lelah.”

4 September 2009
“Terlambat. Lagi-lagi.”
“Maaf. Aku benar-benar dilesap lelap.”
“Ya, tidurmu terlalu nyenyak.”
“Ini hari ketiga kita dibebat adat.”
“Bukan aku, melainkan kau. Hanya kau.”

5 September 2009
“Cih, datang padaku membawa sembab.”
“Telaga ragaku meluap. Mengertilah.”
“Untunglah. Tak pernah ada cara kita bertukar tempat.”

6 September 2009
“Apa kabar hari ini?”
“Sendu. Hari ganjil ketiga, makin mendekati girang yang semu.”
“Hari kelima menelusuri cara. Jalan keluarnya.”
“Hari ini kita harus temukan itu. Harus!”

7 September 2009
“Senang menangkap selekuk senyummu. Meski cuma separuh.”
“Lega. Akhirnya kita temukan jalan keluar.”
“Ini jalan pintas. Kau yakin?”
“Sangat.”

8 September 2009
“Ganjil ketiga.”
“Hari ketujuh.”
“Hei, tak kau tanyakan kabarku?”
“Kabar seorang pendosa. Untuk apa? Aku tahu jawabannya.”
“Kalau aku pendosa, kau serupa. Kita sama.”

9 September 2009
Tanggal yang cantik, rupawan.
Waktunya pagelaran mewah dilaksanakan.
Ratri dipersunting Kanjeng Gusti Pangeran. Hari ini gelarnya resmi menjadi Bendara Raden Ayu, selir kesayangan. Seharusnya.
Tapi yang terjadi pagi itu …
Istana geger. Ratri ditemukan tewas mengenaskan. Di ruang mewah yang letaknya di sudut istana kerajaan. Kemben jariknya dilahap darah segar. Bersumber dari tikaman keris berlekuk tujuh, tepat di dada kiri. Ratri bunuh diri.
Ternyata inilah hasil monolog Ratri dengan dirinya sendiri. Selama terkurung dalam pingitan tujuh hari terakhir ini.

Pertanyaan Tanpa Ujung

November 7, 2010 § Leave a comment


by Hartina W. @mawarkuning

Suatu ketika di sebuah acara Natalan keluarga, seorang tante menanyakan kepada saya, mana nih cowoknya, kok nggak dibawa? Dengan gaya santai walau di hati sebenarnya ada rasa sebel luar biasa, saya menjawab, diumpetin, biar nggak kabur setelah kenal dengan keluargaku yang aneh-aneh bentuknya.

Masa-masa yang menyebalkan dalam hidup saya memang. Waktu itu saya sudah SMA dan belum juga punya pacar. Wah, jadi sasaran empuk buat orang-orang di sekitar saya, terutama kerabat-kerabat saya. Pertanyaan seperti di atas hampir menjadi santapan mingguan (karena hampir setiap minggu saya bertemu dengan saudara-saudara saya) Yang lebih menyebalkan lagi adalah, ibu saya sempat bersekongkol dengan kakaknya (berarti beliau adalah bude saya ya?), untuk mencarikan pacar buat saya. Jadi ibu sempat menanyakan kepada sepupu-sepupu saya kalau-kalau mereka punya teman yang bisa dijodohkan dengan saya. Ampun….. Masih suka kesal rasanya kalau ingat kejadian itu.

Selepas SMA, I went to study abroad. Adalah beberapa orang yang sempat menjadi fling. Tapi never pacar betulan. Beberapa kali saya kembali ke Indonesia, tapi belum juga saya membawa seorang kekasih untuk bisa dikenalkan kepada bapak dan ibu saya (well, terutama ibu, karena beliau yang selalu mendesak agar saya segera punya pacar). Saya sempat merasa agak down, karena saking seringnya ditanyakan kenapa belum punya cowok, maka saya jadi berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri saya karena tidak juga punya pacar. Saya jadi semakin gelisah kalau melihat teman-teman saya semua rata-rata sudah punya gandengan. Kalau jalan-jalan pasti berpasang-pasangan. Sementara saya? Selalu sendiri. Ada apa ini?

Saat yang ditunggu pun akhirnya tiba. Saya punya pacar! Yipeeeee….!!! For the first time in my life, saya punya special someone sungguhan (baca: bukan sekedar fling yang hanya bertahan beberapa bulan saja) untuk dikenalkan kepada ibu. Dan saya merasa yang ini pun cukup serius. Saya pun melihat ibu cukup bangga untuk bisa mengatakan kepada saudara-saudara dan teman-temannya bahwa beliau sudah punya ‘calon mantu’. Kalaupun pada akhirnya saya dan pacar saya itu tidak sampai melanjutkan hubungan kami ke jenjang berikutnya, itu tidak menjadi soal. Yang penting saya sudah bisa menghentikan pertanyaan menyebalkan itu.

Tapi saya salah. Setelah tahu bahwa saya akhirnya berhasil punya pacar, pertanyaan itu bukannya berhenti malahan berganti menjadi, kapan dong nih, mau kawin, kan sudah hampir kepala tiga umurnya? Huh…. baru juga 25 tahun, masih jauh untuk sampai ke 30. Kembali saya gelisah. Apa memang benar my time is running out? Memang sih, ada beberapa orang teman yang sudah menikah dan bahkan sudah punya anak. Tapi saya memang rasanya masih jauh dari tahap itu. Dan sebenarnya I quite enjoyed my life at the time. Except for that annoying question. Kenapa sih orang-orang ini tidak bisa membiarkan saya menjalani hidup ini sealami mungkin tanpa harus dibebani dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang cuma bisa bikin hati saya gelisah dan mempertanyakan apakah ada yang aneh dengan diri saya? Teramat sangat menyebalkan.

Lalu tibalah saat yang sudah terlalu lama dinanti. Saya benar-benar mau menikah dengan seorang cowok yang sudah saya pacari selama kurang lebih 2 tahun. Akhirnya. Ibu mulai senyum-senyum lagi. Entah senyum karena rasa lega atau apa. Yang pasti sepertinya beliau bahagia lah buat saya. Di hari perkawinan saya, selain merasa senang dan bahagia, saya pun merasa lega. Lega karena bisa terlepas dari ‘pertanyaan’ itu. Ah, akhirnya, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang akan mengganggu hidup saya. Tidak ada lagi yang bisa membuat saya gelisah dan mempertanyakan kenormalan diri saya. Beberapa bulan setelah perkawinan saya itu adalah merupakan masa-masa tenang dalam hidup saya. Betapa menyenangkan hidup ini.

“Eh, gimana kabarnya? Kapan nih punya momongan?” Oh, no!!! Muncul lagi pertanyaan lain yang tidak kalah menyebalkan. Saya dan suami pada saat itu memang sudah sepakat untuk menunda kehadiran anak, Selain belum merasa siap, kami juga ingin take it easy saja, dan menikmati hidup berdua. Saat itu kira-kira 7 bulan usia perkawinan kami. Belum juga ada 1 tahun, pikir saya. Kenapa orang-orang ini sudah mulai mengoceh tentang anak? Tidak mengertikah mereka bahwa kami memang sengaja menundanya? Capek rasanya kuping saya mendengar pertanyaan mereka tentang kapan kami akan punya anak. Sebel, sebel, sebel…. Sempat sampai stress saya memikirkan pertanyaan itu. Sempat juga saya takut kalau-kalau memang nantinya saya tidak bisa punya anak. Nah lho. Kembali saya berpikir, wah, time is running out. Mungkin memang benar sudah saatnya punya anak.

Seakan ingin berlomba dengan all those life’s questions, saya akhirnya pun hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Wah… bahagianya saya. Orang-orang datang untuk mengagumi bayi saya. Mereka memberikan ucapan selamat karena akhirnya saya punya anak juga. Saya merasa puas karena akhirnya bisa mencapai tahap itu juga. Lenyaplah sudah segala pertanyaan-petanyaan ‘ajaib’ itu. Tolong, jangan biarkan mereka kembali lagi. I want to live my life in peace. Semoga sekarang ini saya sudah benar-benar bisa mengalahkannya. Semoga saja kali ini saya benar-benar sudah menang. Tapi saya tidak bisa sepenuhnya menghilangkan keraguan saya.

Usia anak saya pun mulai bertambah. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun… tiba-tiba ketakutan saya terbukti. Pertanyaan itu datang lagi. Memanifestasikan dirinya dalam sebuah bentuk pertanyaan yang lain: ‘Kapan nih yang kedua nyusul?’ Oh, my God. Kapan saya bisa menentukan langkah hidup saya sendiri kalau saya terus menerus disetir oleh pertanyaan-pertanyaan ini? Apa sih salahnya punya satu anak saja? Saya tahu bahwa program KB menyebutkan dua anak, tapi terus kenapa memang kalau anak saya cuma satu? Dengan rasa lelah yang teramat sangat, saya lantas (seperti yang sudah-sudah) mencoba untuk menjawab pertanyaan yang rasa-rasanya makin mirip saja dengan tantangan hidup. Setelah usia anak saya yang sulung menginjak 5 tahun, adiknya pun lahir. Another baby boy.

Ah, sudah. Cukup. Saya sudah lelah. Saya sudah mengalahkan tantangan-tantangan itu. Saya tidak mau lagi dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Saya sudah berhasil punya pacar. Saya sudah berhasil menikah. Saya bahkan sudah punya dua orang anak. Saya tidak akan peduli lagi kali ini. Saya tahu bahwa someday (very very shortly) pertanyaan itu akan kembali menghantui saya. Kapan nih punya anak perempuan? Apakah saya harus kalah lagi? Lalu bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya nanti di sepanjang hidup saya? Setelah anak-anak saya dewasa, orang-orang itu masih akan bertanya, kapan nih mantu? Lalu, kapan nih punya cucu? Jadi kapan sebenarnya kita ini bisa dinyatakan menang atas tantangan hidup tersebut? Atas those never ending life’s questions? Saya pun mulai belajar untuk tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sama kepada orang-orang di sekitar saya. Saya sudah cukup merasa annoyed dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tidak perlu lah ada orang lain merasakah hal yang sama. Memang menyebalkan.

Pengantar #NovemberMenulis 06: The C Word

November 7, 2010 § Leave a comment


by Cubiculum Notatum @jejakubikel

Commitment. That’s the C Word.

Berapa banyak orang jatuh cinta mengakhiri pacaran dengan menikah? Berapa banyak orang yang terjun begitu saja tanpa memikirkan apa-apa? Berapa banyak orang yang memikirkannya terlalu lama? Berapa banyak yang bersama hingga akhir hayat? Berapa banyak yang berpisah di tengah jalan?

Menikah, adalah keputusan besar. Mengakhiri fase di mana kamu bisa memutuskan segala sesuatunya sendiri, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Menikah berarti berbagi. Berbagi apa yang kita makan. Berbagi apa yang kita peroleh. Berbagi masalah. Berbagi kebahagiaan. Menikah juga seharusnya merupakan tanjakan kebahagiaan bagi dua insan. Tapi, kenapa tidak selalu begitu? Kenapa baru menyadarinya separuh perjalanan?

Ada bermacam-macam pernikahan. Ada pernikahan karena cinta. Setidaknya ini yang dipikirkan sebagian besar manusia ketika melakukannya. Lalu ada pernikahan karena harta. Aku yakin kedua belah pihak tahu dengan pasti, bahwa salah satunya menikahi mereka untuk satu alasan picik itu, tetapi tetap melakukannya karena memang cinta. Ada lagi pernikahan politik. Pernikahan yang dilakukan dua belah pihak (yang menyebut diri mereka keluarga) untuk memperkuat kedudukan mereka secara politik di suatu forum. Pernikahan yang diatur. Bahkan di zaman yang kita panggil modern ini, mengatur pernikahan bukan hal asing.

Lalu, apakah pada akhirnya alasan itu penting? Jawabannya, ya dan tidak. Alasan kita butuhkan untuk memulai langkah magis ini. Namun, mungkin akan perlu ada alasan berikutnya untuk bertahan pada alur yang kita ambil. Cinta. Harta. Politik. Penjodohan. Yang mana yang paling lama bisa membuat kita berjalan. Saya belum membicarakan aral dan onak lho!

Will you marry me?

May be, I do.

Mencari Seorang Imam

November 6, 2010 § Leave a comment


by @andiana

Bukanlah seorang tampan yang kupinta dari Allah
Juga tidaklah kupinta yang bergelimang harta
Apalagi dengan kedudukan terhormat di mata manusia

Cukuplah seorang shalih yang selalu ingat padaNya
Tenang dan halus tutur katanya pada sesama
Sederhana dalam penampilan dan gaya hidup

Seorang nahkoda yang sigap dan siap dalam menghadapi badai gelombang
Seorang pilot yang tahu ke mana arah tujuan pesawatnya
Seorang imam yang berusaha menjaga keluarga dari api neraka

Telah kupahami tentang manisnya mahligai cinta
Yang disaksikan langsung oleh Allah
Telah kusadari tentang pahit getirnya salah komunikasi
Yang terikat dalam penyatuan perbedaan

Jika memang engkaulah yang sudah tertulis dalam Lauhful Mahfudz
Hanya untuk menemaniku mencapai cintaNya
Maka biarlah aku di sini menantimu dengan sabar
Untuk seseorang sepertimu… Atau mungkin memang dirimu…

-depok/2010-

Where Am I?

You are currently browsing the 06 Pernikahan category at Cubiculum Notatum.